Wednesday, June 11, 2014

Bulan Pecah

Karya Hasbi Burman

Selepas senja
angin lirih berkata
pada sekeping harapan
yang lena
menggergaji kelam
tenggelam satu-satu kepingan
nyenyak dalam dengkur musim
sekali -sekali kuik elang

Selepas senja
ada desah
antara patroli angin
di jenjang taman budaya
hiruk pikuk sendu
mengunyah yang itu itu
belum jemu-jemu
rayu haru biru
bulan rindu

Selepas senja
malam temaram kelamnya
kelamnya hingar- bingar
hati sembunyi di balik cahaya
yang tertawa
yang merasa
lewat cahayanya
bulan belah dua
jadi kerak sirna

Selepas senja
cahaya tiarap di punggung sejoli
kerak remuk jadi birahi
di selangkang sejoli
cahaya bulan
tiba- tiba sunyi
dipukul cahaya sejoli
angin malam terbahak pergi

Selepas senja
ada ada saja kelelawar
bersilangan dengan kunang-kunang
dengan riuh tetabuhan
malam sangat panjang
sebalik halimun
tarian bayang-bayang
kunang-kunang padam
ditampar mercuri
sejoli terlihat birahi
tidak beranjak pergi

Taman Budaya Aceh, Maret 2014.

* Hasbi Burman, penyair ini dijuluki Presiden Rex.

Batu

Karya Ernayati Zaifah

benar katamu
kita jelmaan batu
terbentuk dari pasir mengeras
ribuan tahun silam

kita serupa kerikil
ketika matahari merenggut, terbahak, terisak

benar katamu
kita jelmaan batu
menanti  lumut hijau menyelimuti kita dari waktu ke waktu

Banda Aceh, 27 Februari 2014

* Ernayati Zaifah, mahasiswa Gemasastrin 2013 dan anggota Komunitas Jeuneurob.

Cot Gle

Karya Firdaus Yusuf

RUMAH PANGGUNG kami yang berjarak 500 meter dari sebuah benteng di tepi pantai bergetar. Peralatan masak ibu di dapur berserakan di lantai tanah. Belanga-belanga jerami pecah. Kopiah ayah di atas meja rotan berpindah-pindah. Ibu membungkus barang-barang bawaan seadaanya dengan kain sarung. “Bergegaslah. Sebentar lagi kafir-kafir yang jumlahnya lebih banyak daripada ikan teri di pasar akan menembus benteng,” kata Ayah pada Ibu.

“Ceudah…,” Ayah memanggilku saat aku, Ibu dan adikku, sudah berbalik badan. Lalu dia mengambil rencong yang terselip di pinggangnya. “Ini!”

Di ambang pintu, Ibu yang menggendong adik perempuanku, menatap Ayah dengan tatapan kosong. Kulihat mata Ayah dan Ibu berkaca-kaca. Adikku menangis terus sedari tadi. Tak ada keharuan yang berlebihan di pagi buta itu. Itu hari terakhir aku bertemu Ayah.

Aku bersama adik perempuanku yang masih berumur tiga tahun dibawa Ibu keluar dari kampung bersama kaum perempuan lainnya. Perang tak kunjung reda meskipun perang besar dan terbuka telah usai. Berbulan-bulan kami berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Suatu pagi, aku, Ibu, dan adikku, serta beberapa tetanggaku memberanikan diri pergi ke bandar karena tak ada lagi makanan yang tersisa. Tapi, kami tak mendapatkan apa-apa di sana. Kedai-kedai tutup. Yang ada hanya puing-puing reruntuhan bangunan di sekitar Mesjid Raya. Kulihat sudut-sudut bandar dihuni oleh serdadu Belanda. Bandar penuh dengan bangunan dari kayu yang tak terlalu besar, yang dilingkari dengan kawat-kawat berduri setinggi pria dewasa. Serdadu-serdadu Belanda itu, ada yang putih seperti cicak; dan ada juga yang hitam, mirip lutung.

Di bandar, serdadu-serdadu Belanda tak lagi beringas usai perang besar tempo hari. Kami pulang untuk melihat-lihat kampung. Betapa luruhnya hati kami tatkala mendapati kampung telah musnah. Abu bekas rumah-rumah dibakar beterbangan ditiup angin laut.

Kudengar dari percakapan Ibu dengan orang-orang dewasa lainnya: wabah penyakit kulit menyebar di bandar. Konon, kata mereka, Belanda kualat karena membakar Mesjid Raya. Dan…, saat itu, sultan juga telah mangkat.

 “Penyakit itu menyebar begitu cepat,” kata Ibu, ketika mengobrol dengan tetanggaku, Mak Téh,  yang juga ada dalam rombongan kami.  Dalam masa-masa itu, manakala hujan turun dengan deras sepanjang hari, banjir besar juga menyeruak dari Krueng Aceh.

***

Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di satu padang yang tak terlalu besar di tengah hutan Tuhan yang dikelilingi rawa-rawa. Ada sungai dan ada berbagai macam pohon di sana.

 “Sekarang,” ujar Mak Téh, “kumpulkan uang dan perhiasan yang ada pada kalian.”

Tak semua orang mulanya sudi menyerahkan benda berharga mereka itu. Namun berkali-kali Mak Téh meyakinkan perempuan-perempuan yang hampir semuanya membawa anak-anak itu. “Kita tak punya pilihan lain. Kalian mau anak-anak kalian mati kelaparan?”

Mak Téh akhirnya mengemas perhiasan mereka dengan kain sarung. Dia dan lima perempuan yang terbilang jauh lebih muda darinya, turun ke bawah, ke kampung yang paling dekat.

Aku dengar sekilas-pintas dari orang-orang dewasa, mereka yang turun ke kampung, berjalan kaki seharian dan mengikuti jalan setapak yang telah kami buka ketika kami menjelajahi hutan itu untuk menemukan tempat kami menetap ini.  Kedai-kedai tertutup mulanya. Tapi menurut penuturan beberapa warga di kampung tersebut, kedai milik orang Cina dibuka jika ada orang yang datang membeli. Tapi barang-barang di situ mahal. Pedagang-pedagang itu ambil kesempatan menaikkan harga saat situasi seperti ini.

Mak Téh membeli dua karung ubi dan meminta batang-batang ubi pada penduduk di kampung yang mereka sambangi itu. Dia membeli induk ayam dan anak-anak ayam serta berpuluh-puluh butir telur ayam.

***

Bertahun-tahun kemudian, semua tampak berbeda di Cot Gle. Ya, 53 perempuan yang sebelumnya menjejakkan kaki di padang yang dikelilingi rawa-rawa itu, menamai tempat tersebut Kampung Cot Gle. Ada kebun ubi, ada kandang-kandang ayam yang terbuat dari batang bambu; ada juga petak-petak tanah yang ditumbuhi tomat, bawang, dan cabai. Gubuk-gubuk dari batang bambu dan dinding jerami, serta atap daun rumbia juga telah berdiri di sana. Sebuah balai yang lumayan besar kami jadikan tempat mengaji dan sembahyang. Di belakangnya, bunyi air sungai mengalir terdengar bersama derap langkah sejumlah orang yang mengangkut air.

 Mak Téh dan yang lain jarang turun ke kampung. Jika sebelum serdadu Belanda masuk ke kampung-kampung, tapi akhir-akhir ini, mereka mulai masuk ke hutan. Setidaknya begitulah yang aku tahu.

***

Suatu pagi yang tak biasa, ketika aku membantu Ibu mencuci pakaian di sungai, kudengar suara ribut-ribut di atas. Derap langkah manusia terdengar bersama bunyi kecipak air di rawa-rawa. Burung-burung beterbangan dari dahan-dahan pohon.

“Ambil parang. Sembunyi. Sembunyi.” Kudengar kalimat itu samar-samar.

Ibu dengan cekatan menggendong adikku. “Ceudah, kita naik ke atas,” kata Ibu padaku. Kami menapaki batu-batu yang lumayan besar untuk melihat apa yang sedang terjadi di atas sana.  “Itu seperti kampung Letnan!” Terdengar suara seseorang berteriak. “Itu kampung mujahidin!”

Adikku menangis. Ibu mencoba menenangkannya tapi hal itu sia-sia. “Ibu, aku takut.”

Berdirilah seorang serdadu Belanda berkulit hitam di hadapan kami. Dengan wajah setengah kaget dia menatap kami. Matanya mendelik. Ibu, yang juga menggendong adikku dalam pangkuannya, menepis moncong senjata si serdadu tersebut, yang di arahkan padaku. “Lari Ceudah,” kata Ibu, berteriak. “Lari!”

Satu letusan membahana. Ibu tersungkur ke tanah. Dengan cepat si serdadu itu lalu mengayun kelewangnya ke leher adikku. Aku berlari ke arah rumpun bambu. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat si serdadu itu, memasukkan mesiu dan peluru ke dalam senjatanya. Ketika dia menarik pelatuk, kakiku tersandung sebuah batang pohon. Aku terjatuh.

Terdengar serdadu-serdadu Belanda lainnya bersorak-sorai. “Menghadapi perempuan dan anak-anak saja kau tak becus,” seru seorang serdadu, yang ada dalam kerumunan di sampingku. “Mau lari ke mana anak setan?”

Si serdadu itu mendekatiku dengan langkah yang pelan dan gerak tubuh yang dibuat-buat. Napasku terengah-engah. Kulihat ke belakang, tak jauh dari tempat aku terduduk di tanah, di balik rumpun bambu, Mak Téh menggenggam ranting pepohonan sebesar jempol tangan. Dia mengisyaratkan padaku untuk diam. Sementara, dari sebelah kiri aku terduduk, beberapa serdadu Belanda, yang sesekali menatapku, sepertinya mencium sesuatu yang janggal. Tapi mereka hanya menengok ke bawah-ke sungai. Dan juga ke dalam rumah-rumah. Apa mereka tak bisa melihat Mak Téh dan yang lainnya? Tanyaku sendiri.

Aku lihat Mak Téh menebas ranting yang dia genggam dengan sebilah parang. Kepala si serdadu Belanda yang ada di depanku, yang telah menarik pelatuk dan siap menembak, copot dari lehernya bersamaan dengan jatuhnya ranting yang ditebas Mak Téh tadi ke tanah.

Sontak saja, serdadu-serdadu Belanda lainnya, yang tadinya bersorak-sorai, terdiam seketika. Mereka menuju ke arahku. “Jangan tembak anak itu,” kata seorang lelaki tinggi dan berkulit putih, yang dipanggil Letnan. “Geledah tempat ini! Bakar!”

Serdadu-serdadu Belanda akhirnya berjalan ke deretan rumpun bambu di belakangku. Mak Téh dan yang lainnya tak berbuat apa-apa mulanya. Tapi ketika serdadu-serdadu Belanda itu berada dari jarak beberapa langkah dari rumpun bambu tempat Mak Téh dan lainnya berdiri, dengan tangkas Mak Téh dan yang lainnya menebas serdadu-serdadu Belanda diiringi dengan teriakan Allahu Akbar .

Tapi, itu tak berlangsung lama. Senjata pendek serdadu-serdadu itu berdentuman dan kelewang mereka melayang dengan cepat ke segala arah. Termasuk ke leher anak-anak. Ketika tak ada lagi perlawanan, lelaki yang dipanggil letnan itu mendekatiku.  Dia mencoba merangkulku, tapi aku berusaha untuk menghindar. Aku memakinya sambil beringsut di tanah. “Tenang anak manis. Kau tak perlu takut.”

Dia melangkah ke arahku sementara aku terus beringsut ke belakang hingga tubuhku tertahan tiang bambu sebuah gubuk. Jantungku berdegup kencang. “Siapa namamu?” Dia menjulurkan tangan kanannya. Lalu, dia jongkok tepat di hadapanku.

Kulihat bola matanya yang biru menatapku lekat-lekat. Dalam masa saling tatap-menatap dengannya, matanya memandang tajam ke pinggangku. Tanpa pikir panjang, secepat kilat aku tarik rencong yang tersampir di pinggangku dari sarung dan kuhujamkan senjata pemberian ayahku itu ke lehernya. Tak lama kemudian terdengar letupan senjata bertubi-tubi.

* Firdaus Yusuf lahir di Sigli, 25 April 1990. Menyelesaikan studi di Fakultas Keguruan dan Pendidikan Jurusan bahasa Inggris di Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui Sigli.

Syariah di Mulut, Syariah di Hati

SYARIAT Islam yang dideklarasikan belasan tahun lalu di Aceh hingga kini masih belum kaffah implementasinya. Baru-baru publik dihangatkan oleh pemberitaan media tentang wacana pemisahan (spin off) unit usaha syariah Bank Aceh dari induknya Bank Aceh (konvensional). Wacana ini mendatangkan sikap pro dan kontra. Ulama jelas-jelas mendukung wacana dan rencana aksi pemandirian unit usaha syariah Bank Aceh agar kehidupan pemerintah dan rakyat Aceh terbebas dari riba.

Namun, aneh, Kepala Biro Humas Pemda Aceh, Murthalamuddin, justru menentang itu. Ia melakukan protes terhadap ulama. Ini sikap paling konyol yang pernah dilakukan oleh Humas. Seharusnya Biro Humas pemerintah menampung semua kritik dan masukan, bukan malah membuat konflik yang dapat merusak citra Pemerintah Aceh yang dapat saja disimpulkan oleh publik sebagai penentang syariat Islam di Aceh.

Selain itu, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) melakukan investigasi cepat ke dua lembaga yang menjadi ujung tombak pelaksanaan syariat Islam di Aceh, yaitu Dinas Syariat Islam (DSI) dan UIN Ar-Raniry. Ditemukan, dana APBA milik DSI masih disimpan di Bank Aceh konvensional. Sementara UIN Ar-Raniry menyimpan dana sertifikasi dosen dan guru besar di salah satu bank konvensional nasional.

Seharusnya kedua lembaga Islam tersebut menunjukkan sikap berpihak pada bank syariah dan mengalihkan semua dananya ke bank syariah, agar sesuai antara omongan perilaku di lapangan. Kalau institusi Islam saja tak konsisten, bagaimana berharap implementasi syariat Islam yang kaffah di bumi Aceh? Semoga!

Safaruddin, SH.
Direktur YARA Banda Aceh
Email: nyaktafar@yahoo.com

Jari Manis Ulat Kupu kupu

Karya Berto Tukan

Seekor kupukupu menjelma ulat yang melingkari jari manismu.
Sayapsayapnya yang menentang kemajuan hilang di balik kulit hijau.
Ia melingkar manis, diam, tanpa mata terbelalak.

Jari manismu membekukan masa depan
pun pula jauh sebagai mesin waktu;
cara kita kembali ke lalu.

Seekor kupukupu yang menjelma ulat di jari manismu,
ia kehilangan bungabunga dan tamantaman liar,
tempat anak nakal berlari menginjak rerumputan,
mematahkan rantingranting, menghempaskan kembangkembang,
menyabet jaringjaring, menangkap kupukupu.

Seekor kupukupu lain terbang sendirian, menatap langit,
menghindari dedaunan jatuh, mampir di sebuah dahan pohon, dan
menatap syahdu taman di bawahnya.

Seekor kupukupu menjelma ulat yang melingkari jari manismu
tak lagi memandang ke belakang yang berubah
tak lagi memunggungi di depan yang gelap.


Lelayang
untuk R.F.

Perasaan bagai lelayang
kepala kita menjelma benang
menegang melingkar di kaleng
di tangan lelaki kecil yang sumringah.

Lelayang melayang terterpa angin;
angin katakata, angin bayangbayang,
angin anganangan, angin citacita,
angin kisahkisah.
Beribu beratus berpuluh angin
menggelombang mengolengolangkan
lelayang kita.

Semoga tak ada badai
yang melepas kepala kita.
Semoga tak ada lelayang lain
yang menghempaskan
lelayang kita.
Barangkali jatuh di lautan barangkali nyasar
di bulan barangkali.

Perasaan bagai lelayang.
Kepala kita adalah benangnya.
Dan lelaki kecil itu, ia realitas
realitas kita yang hidup.

 * Berto Tukan adalah mahasiswa program magister Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta. Ia mengelola majalah budaya on-line, Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS.

Surat untuk Marya

Karya Teuku Hendra Keumala

SALAM Marya. Kau yang sedang berada jauh, di Negeri Sakura, negeri empat musim, di mana semua orang hidup gembira. Tidak ada harapan  lain dariku untuk saat ini, selain berharap kau tetap ceria, senantiasa berada  dalam limpahan rahmat Allah SWT.

Marya, aku berharap kau tidak terkejut dengan kedatangan suratku ini. Kau tahu, aku bukan orang yang suka menulis surat. Tidak perlu aku jelaskan tentang sifatku yang satu ini, apa yang menyebabkan engkau tidak pernah mendapat  surat balasan dariku, untuk menanggapi surat-suratmu yang pernah kaukirimkan kepadaku. Menulis surat memang bukan kebiasaanku.

Aku akui itu adalah sifat burukku. Aku tidak seperti kawan-kawan lain yang sering berbalas surat denganmu. Marya, kau tahu, rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang berharga bagiku saat ini, selain menulis surat ini untuk mu. Menceritakan banyak hal kepadamu setelah kita berpisah. Aku harap kau punya waktu luang membaca suratku ini, di sela-sela kesibukanmu. O ya, sebelum surat ini berbicara lebih panjang, aku akan memulai dengan menceritakan sedikit suasana di tempatku saat ini.

Pada saat aku mulai menulis surat ini untukmu, langit diselimuti awan hitam, langit bersiap mencurahkan hujan, menghantam tanah-tanah gersang. Mendung begitu pekat, gemuruh berdentum dan petir mengerjap. Begitulah juga suasana hatiku, mengerjap, menyimpan rindu kepadamu.

Rindu telah memasungku dengan masa lalu. Menyebabkan butir air mata keluar dari dalam pelupuknya, menitis membasahi pipi. Apakah ada artinya penyesalanku ini, karena baru sekarang aku mengakui?

Aku kadang dapat merasakan kembali sebuah masa lalu, merasakan kembali di mana kebahagian dan kehangatan telah begitu lama tejalin. Aku melihatnya. Aku pikir, kenangan itu tidak pernah percuma, sebagaimana dia tidak pernah benar-benar menghilang begitu saja. Maafkan. Maafkan aku Marya, bila sekaranglah aku dapat mengerti hal tersebut dengan sangat baik. Harus aku akui sekarang perasaan itu ada. Apa kau lihat pipiku memerah? Bila mengingat hal itu, rasanya aku ingin mengulangi masa-masa itu, saat-saat kita masih bersama duduk di ruang kelas menatap tekun sang guru.

Marya, hujan di Jepang mungkin tidak separah di tanah indatu. Di sana hujan mungkin seperti kapas berwarna putih cerah. Marya kau manis dan punya sifat mulia. Bila kata-kataku ini tidak cukup memberi rasa puas dalam hatimu, untuk itu aku minta maaf karena belum dapat memberikan definisi yang tepat tentangmu. 

Selepas kebersamaan kita berlalu, sekeping hatiku merasakan kerinduan. Rindu kepadamu. Adakah, oleh rasa rindu ini, persahabatan kita telah dirasuki oleh sesuatu yang lain?

Marya, sebenarnya aku telah mengurungkan niat dan mempertimbangkan untuk tidak menulis surat ini untukmu. Karena aku tahu, hal ini tidak begitu penting lagi bagimu sekarang. Namun, aku tidak tahu kepada siapa harus aku ceritakan semua ini? Rindu telah memercikkan api dan membuatku terbakar karenanya.

Marya, maafkan, maafkan kawanmu. Aku telah berusaha membujuk hatiku, agar tidak terlalu berharap, aku tak ingin bertepuk sebelah tangan. Di atas itu semua, apa yang paling aku takuti, perasaan ini akan menghancurkan persahabatan kita yang telah sekian lama terjalin. Kawanmu ini tidak tahu di mana harus berdiri sekarang.

Aku sangat mengerti dengan keadaanku. Aku sama sekali tidak sebanding dengan sifat kemuliaan yang kau miliki; dengan kecantikan yang kaumiliki. Aku yang serba kekurangan ini jelas bukan tipemu. Bagaimanapun peratnayaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Setidaknya aku dapat mengenggam alasan yang tepat jika kelak kau menolakku.

Marya, apakah di negeri tempat kau berada sekarang masih dapat kau tatap laut bebas tiada berujung? Seperti yang biasa dulu kau lakukan di tanah kelahiran. Dulu kau mengajakku, melihat matahari mengukir langit dengan warna keemasan saat siang berganti malam.

Pada saat seperti itu kau menyelusuri garis pantai, dengan girangnya berjalan di antara pasir putih bersih, dan cemara melambai dingin tersibak  angin senja,  dan kau biarkan gelombang pasang itu menjilat nakal kaki telanjangmu.

Mungkin kau di sana lebih tertarik berjalan di antara pohon sakura, menyelusuri Taman Ashikaga, menyaksikan bunga wisteria mekar, menyiratkan warna biru putih dan merah muda, menjuntai ke atas membentuk langit-langit taman serta cabangnya  menyerupai payung raksasa.

Di sini, aku masih sering melakukannya. Sendiri.  ketika pikiran rindu menghantuiku, aku membawa diri menyendiri menyaksikan ombak bergulung-sambung menerpa karang.Aku hanya menatap dingin hantaman itu. Lamat-lamat, tatkala matahari menyeprot warna jingga di langit-langit sana, saat itulah semua bebanku lepas, hilang bersama matahari tenggelam dalam lautan. Pasti kau masih dapat membayangkan keindahan matahari tenggelam itu bukan?

Terkadang juga di tempat ini aku lebih sering menghabiskan sore. Di tempat ini pula aku hanya ditemani oleh debur ombak. Ya, cuma debur ombak. Karena aku hanya ingin mengenang kebersamaan itu sendiri, tatkala cahaya perlahan hilang, berganti kelam. Bila sudah demikian, hanya hawa dingin yang mampu mengusirku dari tempat ini, karena aku memang tidak terlalu suka dengan dingin.

Marya, selepas kau pergi kuliahku pun usai. Aku lekas meninggalkan kota ini. Meninggalkan sore-sore bersama debur ombak. Keputusan ini terpaksa aku ambil karena untuk menemani ibuku yang sudah memasuki usia senja, padahal aku sangat ingin meniti karir di kota ini, kota tempat aku menimba ilmu dan juga kota yang telah mempertemukan kita.

Jika aku tidak pulang, sebernarnya tidak begitu berat baginya. Masih ada adik perempuanku yang menemaninya. Namun tidak adil rasanya jika aku serahkan persoalan ini kepada seorang perempuan, kerena ada hal yang lebih wajib ia urus, yaitu seorang anak yang selalu merindukan belaian ibunya, serta suami yang selalu ingin didampingi. Ia sudah berkeluarga dua tahun yang lalu.

Sekarang di kampung ini, kehidupanku hanya dihadapkan pada musim-musim. Sama seperti yang terjadi di tempatmu meniti ilmu sekarang. Orang-orang akan berhadapan dengan kesibukan yang berbeda-beda pada setiap musimnya.

Di tempatku sedang memasuki musim bajak, musim ketika para petani menggarap tanah-tanah sawah sampai menjadi lumpur, hingga tergantikan oleh musim tanam. Kau akan mendapati para petani berjalan mundur sambil jongkok. Itu tandanya mereka sedang menyemai benih. Begitulah seterusnya. Musim-musim akan datang silih berganti. Hingga pada suatu ketika para petani itu menuai hasil dari apa yang telah mereka tanam.

Namun perlu kau ketahui Marya, semenjak aku  pulang ke kampung ini  ada musim yang belum pernah terganti: yaitu rasa rinduku kepadamu;  wajahmu terbelenggu dalam ingatanku, dan memenjarakanku dalam malam-malam panjang.

Pada saat kuhempaskan semua perasaan pada secarik kertas ini, di atasku langit yang bertaburan bintang adalah ketenangan tempat ini. Malam masih kelam, hujan baru saja selesai, berteman kesejukan aku mengakhiri surat ini. Salamku Marya. Aku orang yang sedang memendam harapan menyulam mimpi kebersamaan denganmu.

* Teuku Hendra Keumala, alumnus Siswa Sekolah Muharram Journalis College Banda Aceh

indonesia/ aceh

indonesia / aceh